Oktober 05, 2011

Tiang Merah Yang Gila



Padang, 21 November 2010
“Gila!
Kalau kau bilang ia tak lagi bernyawa
Karena sesunguhnya ia baru saja menyalak
Kearah tiang itu!”
Kata sebuah suara padaku
Seketika telingaku memanas
Mendengarnya berkata seperti itu
Kalau boleh ku balik menghujat
Sebenarnya dialah yang gila
Karena menyangka tiang itu merah menyala
Berlumuran darah
Tapi kenyataannya
Di tanah ini sudah tak ada lagi merah!

April 22, 2011

tak sekencang ini


oleh MiLda S. Hadi pada 19 April 2011 jam 11:50

aku memang pernah putuskan untuk berlari

namun tak pernah mau sekencang ini



kenapa?

tanya sebuah suara



aku baru belajar berjalan beberapa hari yang lalu

juga, alas kakiku ini masih baru

sedangkan aku berlari tanpa tau apa yang dituju



mungkin ini bagus untukku,

bisa saja ini berguna untuk memperbagus gerak langkahku

tapi, apa harus begitu?



hmhhh...



tapi aku sadar ini lagi lagi tentang "aku" ku...

April 18, 2011

10.12 am

10.12 am itulah waktu yang terekam di telepon cellular temanku saat civitas akademika yang berkonsentrasi Universitas Negeri Padang kembali menjadi bagian dari penduduk yang dikagetkan oleh goncangan, yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi hal yang biasa namun tetap meninggalkan traumatik yang mendalam.
Gempanya sendiri tidaklah terlalu kuat, hanya 4,2 skala richter saja, namun gempa tersebut seakan mempertegas bahwa Sumatera Barat ada dalam zona tidak aman, juga seakan mendukung ramalan para peramal yang meramalkan bahwa akan terjadi gempa besar dalam waktu dekat ini di Padang.
Disebabkan traumatic yang ditinggalkan oleh gempa 30 September 2009 lalu, beberapa mahasiswa yang sedang berkuliah pada tanggal 3 desember 2010 itu menampakkan reaksi yang berlebihan. Ada yang berlari sambil berteriak bahkan tanpa sadar mengangkat roknya untuk memudahkannya dalam berlari menyelamatkan diri. Reaksi yang sebenarnya adalah salah satu penyebab utama jumlah korban dalam peristiwa gempa. Yaitu PANIK! Sehingga terbentuklah slogan “bukan gempanya, tapi paniknya”.
Imajinasipun seketika melompat tinggi ke angkasa. Mahasiswa yang sudah bertebaran keluar dari kelasnya masing-masing mulai membayangkan tentang tsunami yang mungkin akan datang. Memory tentang tsunami aceh yang sering ditampilkan di televisipun kembali teergambar, dan beberapa mahasiswa pun mencoba menghubungi keluarganya, namun bermasalah dengan jaringan telephon. Wajah pucat, bingung menahan tangis, dan takut mati, langsung menjadi pemandangan yang terlihat.
Entah disebabkan oleh gempa ini atau tidak, jalan raya tidak lagi beraktifitas seperti beberapa menit sebelumnya yang bergerak pelan dan dengan suara yang tertahan,melainkan ikut panic, mendukung mendukung kegundahan hati sebagian mahasiswa yang masih berdiri kebingungan di depan balai bahasa Universitas Negeri Padang. Jalan raya spontan bergerak cepat, kendaraan bermotor roda dua dan empat pun langsung saling dahulu mendahului, suara yang tertahan tadipun pecah, sehingga dari jalan raya hanya terdengar suara klakson serta diselingi umpatan dari pengendara seakan mengisyaratkann kepanikan masing-masing pengendara yang ingin cepat kelauar dari kota yang bernama Padang ini.
Setelah kebingungan sejenak, antara “pulang kampung atau tidak” sebagian mahasiswa memutuskan “go home right now”. Pulang kampong sekarang juga!. Tak ada lagi kata menunggu. Agen travel dan mini bus pun menjadi serbuan. Tak berapa lama pun mini bus yang bertujuan Padangpanjang, Bukittinggi, Payakumbuh pun langsung penuh dan menjadi bagian dari jalan raya yang dari tadi sudah mulai beraktifitas cepat dan berisik. Klakson dibunyikan tiap detik. Umpatan juga menjadi tanda ketidak sabaran pengemudi dengan sibuknya arus lalu lintas pasca gempa itu.
Melihat keputusan sebagian mahasiswa yang pulan menimbulkan rasa geli bagi sebagian orang, “ah gila aja, gempa dikit aja, langsung pulang” atau “parno banget sih lo”. Tapi tidakkah kita bias memahami apa sebenarnya penyebab ke–parno-an itu sendiri? Trauma? Ya tulah salah satu penyebabnya, sehingga keputusan “gila” tadi diambil oleh sebagian orang. Hal diatas juga merupakan bentuk kewaspadaan dari mahasiswa terhadap bencana yang akan timbul, usaha unutk menyelamatkan diri. Mereka berpikir, setidaknya mereka tidak mati dalam keadaan pasrah dan terlihat konyol.
Ayo kembali ke point “iamn” yang seakan tidak terlihat atau tampak dari rentetan event diatas. Bagaimana kondisi iman kita setelah digncang beberapa kali gempa? Menurunkah? Semakin kokohkah? Lalu bagaimana seorang yang beriman itu harus bereaksi terhadap gempa dan/atau bencana lain? Mari introspeksi diri?

“3 jam saja?”

“9.33 am” bisikku membaca penunjuk waktu di sudut kanan laptopku. “dua setengah jam lagi sebelum jam 12 nanti.” Tambahku berbicara pada diriku sendiri.
Sedangkan pikiranku masih melanglang buana mencari apa yang sebaiknya aku tuliskan di layarnya. Pikiranku melayang ke peristiwa yang terjadi di bagian utara pulau Sumatera tahun 2006 lalu, namun tak mampu berlama disana. Pikiranku melayang lagi ke gunung yang meletus di Yogyakarta. Tapi apa yang aku tau tentang itu? Sedikit sekali. Kupandangi terus layar terang itu, berfikir keras, hingga mataku perih sendiri karena cahaya terangnya. Namun, tiba-tiba ingatan masa lampau melintas.
“Ya. Ini saja” kata ku pada diriku sendiri.

Bayangan memori tentang peristiwa besar 30 september 2009 kembali terngiang, meski kabur. Hari itu bumi padang bergoyang dengan kerasnya, hanya beberapa detik saja namun menumbangkan bangunan bangunan yan tampaknya kokoh, namun akhirnya roboh juga.
Kaca-kaca jendela seakan menahan diri mereka sendiri dari perpecahan yang akan terjadi karena goncangan keras itu. Jalan beraspal pun merenggang di depan mataku.
Tangisan membahana di jalanan, saling berpacu dengan suara klakson kendaraan.

“Tidak! Ini tidak pas. Tidak menarik!” bentakku pada diriku sendiri. Kulirik lagi sudut kanan laptopku. “10.19 am. Gawat!” bisikku cemas. Sementara layarku mulai berisi dengan beberapa paragraf yang kemudian langsung aku hapus. Layarku kosong lagi, mataku sakit lagi.

Beberapa orang teman dan diriku sendiri berhenti di halaman sebuah mesjid, yang hari itu tiba-tiba menjadi tempat pengungsian, setelah berjalan kira kira dua kilometer menjauhi pantai. Suasana cukup mencekam mengingat banyaknya mahasiswa dan juga penduduk daerah setempat yang berkumpul disana dengan ekspresi yang beragam namun tetap satu tema, cemas. Malampun menjelang, sementara tak ada satu pencahayaanpun yang dapat diandalkan karena listrik dipadamkan dari pusatnya, untuk menghindari kebakaran. Tapi setelah waktu isya datang, listrik sudah mulai dihidupkan oleh PLN di beberapa titik yang aman saja. Itulah yang aku dengar dari saluran radio yang waktu itu di perdengarkan pada kami semua oleh penjaga mesjid yang menghidupkan radio mesjid setelah listrik hidup. Walikota dan gubernur juga terdengar olehku memberi penenangan kepada para pengungsi melalui saluran radio itu. Sementara itu, aku terus mencoba menghubungi orang tua dan keluargaku yang lain. Hanya saja semuanya sia sia karena jaringan yang tiba-tiba lenyap tak bersisa.

“Mulai dari mana aku harus menulisannya?” Namun lagi-lagi tidak ada yang menjawab pertanyaan bodohku itu. Sementara di sudut kanan bawah laptopku tertulis angka 11.18 am. “makin gawat! Tak sampai 1 jam lagi.” Aku paksa otakku berfikir dengan keras tentang dari sudut mana aku harus bercerita.

Memori lain muncul lagi. Satu orang temanku memutuskan untuk pulang kampung di hari berikutnya. Wajah-wajah cemas, kebingungan dan ketakutan lainnya juga meramaikan pinggir jalan raya hari itu. Kami semua menunggu, menunggu adanya bus yang akan menerima penumpang, meski telah tersiar kabar bahwa jalan menuju kampung kami, Padang Panjang. putus karena gempa tersebut. Tapi pilihan harus dibuat saat aku dan temanku mendengar dengan tercengang tentang harga ongkos yang harus kami bayarkan untuk sampai dengan selamat di rumah kami yang hangat, berkumpul lagi dengan keluarga. 80.000 rupiah mungkin akan setimpal. Ya! Ini setimpal.

“Tapi, dimana letak pesan ceritanya, kalau akau ceritakan ini?” keluhku lagi. Dari sudut apa lagi aku harus bercerita agar menarik dan memiliki pesan?” tentu saja lagi-lagi aku bertanya pada diriku sendiri. Sementara waktunya semakin tipis. “apa sudah tidak ada lagi yang dapat aku lakukan? Ini sudah 11.35.” bisikku putus asa. Sementara aku harus mengeraskan volume headsetku ,yang dari tadi aku gunakan, untuk menutupi keributan yang dibawa beberapa orang ke ruangan dimana aku berfikir keras ini.
Semua penghuni rumah ini mulai berdatangan. Suasana semakin kacau, suara dimana-mana. Volume keras hanya akan membuat telingaku sakit saja. Kupandangi lagi layar kosong ini. Akhirnya tak ada satupun yang dapat aku tuliskan di layar kosong itu. Ia tetap saja memantulkan sinar terangnya kearah mataku, dan mataku tetap saja sakit memandangnya. Akhirnya tak ada satupun yang dapat aku hasilkan setelah berkutat di dengannya selama 3 jam saja.

12. 09 pm, habis sudah.