“9.33 am” bisikku membaca penunjuk waktu di sudut kanan laptopku. “dua setengah jam lagi sebelum jam 12 nanti.” Tambahku berbicara pada diriku sendiri.
Sedangkan pikiranku masih melanglang buana mencari apa yang sebaiknya aku tuliskan di layarnya. Pikiranku melayang ke peristiwa yang terjadi di bagian utara pulau Sumatera tahun 2006 lalu, namun tak mampu berlama disana. Pikiranku melayang lagi ke gunung yang meletus di Yogyakarta. Tapi apa yang aku tau tentang itu? Sedikit sekali. Kupandangi terus layar terang itu, berfikir keras, hingga mataku perih sendiri karena cahaya terangnya. Namun, tiba-tiba ingatan masa lampau melintas.
“Ya. Ini saja” kata ku pada diriku sendiri.
Bayangan memori tentang peristiwa besar 30 september 2009 kembali terngiang, meski kabur. Hari itu bumi padang bergoyang dengan kerasnya, hanya beberapa detik saja namun menumbangkan bangunan bangunan yan tampaknya kokoh, namun akhirnya roboh juga.
Kaca-kaca jendela seakan menahan diri mereka sendiri dari perpecahan yang akan terjadi karena goncangan keras itu. Jalan beraspal pun merenggang di depan mataku.
Tangisan membahana di jalanan, saling berpacu dengan suara klakson kendaraan.
“Tidak! Ini tidak pas. Tidak menarik!” bentakku pada diriku sendiri. Kulirik lagi sudut kanan laptopku. “10.19 am. Gawat!” bisikku cemas. Sementara layarku mulai berisi dengan beberapa paragraf yang kemudian langsung aku hapus. Layarku kosong lagi, mataku sakit lagi.
Beberapa orang teman dan diriku sendiri berhenti di halaman sebuah mesjid, yang hari itu tiba-tiba menjadi tempat pengungsian, setelah berjalan kira kira dua kilometer menjauhi pantai. Suasana cukup mencekam mengingat banyaknya mahasiswa dan juga penduduk daerah setempat yang berkumpul disana dengan ekspresi yang beragam namun tetap satu tema, cemas. Malampun menjelang, sementara tak ada satu pencahayaanpun yang dapat diandalkan karena listrik dipadamkan dari pusatnya, untuk menghindari kebakaran. Tapi setelah waktu isya datang, listrik sudah mulai dihidupkan oleh PLN di beberapa titik yang aman saja. Itulah yang aku dengar dari saluran radio yang waktu itu di perdengarkan pada kami semua oleh penjaga mesjid yang menghidupkan radio mesjid setelah listrik hidup. Walikota dan gubernur juga terdengar olehku memberi penenangan kepada para pengungsi melalui saluran radio itu. Sementara itu, aku terus mencoba menghubungi orang tua dan keluargaku yang lain. Hanya saja semuanya sia sia karena jaringan yang tiba-tiba lenyap tak bersisa.
“Mulai dari mana aku harus menulisannya?” Namun lagi-lagi tidak ada yang menjawab pertanyaan bodohku itu. Sementara di sudut kanan bawah laptopku tertulis angka 11.18 am. “makin gawat! Tak sampai 1 jam lagi.” Aku paksa otakku berfikir dengan keras tentang dari sudut mana aku harus bercerita.
Memori lain muncul lagi. Satu orang temanku memutuskan untuk pulang kampung di hari berikutnya. Wajah-wajah cemas, kebingungan dan ketakutan lainnya juga meramaikan pinggir jalan raya hari itu. Kami semua menunggu, menunggu adanya bus yang akan menerima penumpang, meski telah tersiar kabar bahwa jalan menuju kampung kami, Padang Panjang. putus karena gempa tersebut. Tapi pilihan harus dibuat saat aku dan temanku mendengar dengan tercengang tentang harga ongkos yang harus kami bayarkan untuk sampai dengan selamat di rumah kami yang hangat, berkumpul lagi dengan keluarga. 80.000 rupiah mungkin akan setimpal. Ya! Ini setimpal.
“Tapi, dimana letak pesan ceritanya, kalau akau ceritakan ini?” keluhku lagi. Dari sudut apa lagi aku harus bercerita agar menarik dan memiliki pesan?” tentu saja lagi-lagi aku bertanya pada diriku sendiri. Sementara waktunya semakin tipis. “apa sudah tidak ada lagi yang dapat aku lakukan? Ini sudah 11.35.” bisikku putus asa. Sementara aku harus mengeraskan volume headsetku ,yang dari tadi aku gunakan, untuk menutupi keributan yang dibawa beberapa orang ke ruangan dimana aku berfikir keras ini.
Semua penghuni rumah ini mulai berdatangan. Suasana semakin kacau, suara dimana-mana. Volume keras hanya akan membuat telingaku sakit saja. Kupandangi lagi layar kosong ini. Akhirnya tak ada satupun yang dapat aku tuliskan di layar kosong itu. Ia tetap saja memantulkan sinar terangnya kearah mataku, dan mataku tetap saja sakit memandangnya. Akhirnya tak ada satupun yang dapat aku hasilkan setelah berkutat di dengannya selama 3 jam saja.
12. 09 pm, habis sudah.